Oleh: Toni Kahar
Motor
ini penuh kenangan Nak. Jangan kau jual kepada siapapun meski kau sudah punya
motor yang sangat bagus sekalipun.
Begitu
ucap bapak beberapa hari yang lalu. Tak aku sangka bapak menghembuskan nafas
terakhir di kamarnya dengan tanpa sebab apapun. Dia hanya bilang kepadaku jika
sedang kangen kepada ibu yang sudah meninggalkan kami dua tahun yang lalu.
“Aku
kangen, Maisaroh.” Katanya yang sering dia ucapkan, sembari seperti bergumam,
sementara cahaya matanya setengah melamun. Dan malam itu adalah malam terakhir
bapak bilang seperti itu. Aku tahu bapak sangat mencintainya dari
cerita-ceritanya tentang masa mudanya.
Seminggu
lamanya aku berpikir untuk apa bapak menyuruhku merawat motor butut keluaran
1986 itu. Motornya masih mulus, karena Bapak rajin mengelapnya setiap pagi.
Namun terkadang, ketika kumat, bapak harus menelponku yang ada di kantor untuk
menjemputnya. Karena sedang mogok di jalan. atau dipaksa untuk mendorong motor
agar hidup. Apabila aku sedang malas, aku sering nyeletuk.
“Bukannya
bapak orang kaya di kota ini, jual atau museumkan motor ini adalah lebih baik.
Biar tidak menyusahkan bapak.” Kataku memberi saran.
“Menyusahkan
bapak apa menyusahkanmu?”
Aku
terdiam.
“Kalau
tidak ikhlas, biar bapak yang akan membawanya sendiri ke bengkel.” Bapak
bersikukuh dengan tetap menyayangi motor butut itu. Aku sangat mencintai bapak,
aku sangat merindukan bapak dan kisah manis yang sering bapak ceritakan tatkala
sedang santai di teras rumah.
Hari
ini aku tak punya siapa-siapa. Aku pergi garasi, kubuka penutup dari bekas
penutup plastik bekas mobil. Agar debu tak langsung jatuh ke tubuh motor itu.
Motor itu masih mengkilap. Hanya beberapa saja terdapat debu. Seperti pada bagian
bawah motor karena debu masuk dari bawah yang dibawa angin. Aku mengambil kain
halus di tempat perkakas mobilku.
Aku
membawanya ke halaman dan mendongkrak dua di sana. Di dekat taman dan kolam ikan.
Ya. Seperti yang dilakukan bapak ketika pagi, sembari menjemur tubuhnya di
terik matahari pagi. Pelan-pelan aku mengelap motor butut Bapak sembari
mengais-ngais kenangan yang tak pernah lekang di ingatan. Adakalanya kenangan
seperti taman bunga yang indah dalam pikiran, indah di pandang kembali ketika
sedang kesusahan, tapi dilupakan jika sedang mendapat kebahagian baru.
Aku
mengelap bagian depan sejenak. kepala motor, spion dan lampu motor. Biasanya
bapak mengelus-elus kepala motor. Kulakukan juga sama persis seperti yang
dilakukan bapak. Entah kenapa bapak melakukan itu. Mungkin karena sangat
berkenangnya motor ini bagi bapak. Aku mengelap bagian tengah. Lalu bagian
belakang motor. Terakhir adalan bagian bawah. Bagian yang paling bapak
perhatikan sebenarnya. Di sela-sela ruci, ger, dan bagian mesin, harus semuanya
bersih. Baut-baut dan besi yang nampak karat, ia kasih minyak anti karat secara
rutin.
Aku
lihat rantai motor. Nampaknya sudah lama bapak tidak memberikan minyak anti
karat. Aku ambil sejenak ke dalam garasi. Kuingat bapak ketika memberikan
minyak rantai. Tangan kirinya menyeprot minyak dari lubang penutup rantai.
Sementara tangan kanannya memutar roda motor. Saat itu kadang ibu datang
membawa kopi kesukaan bapak. Kopi asli dari desa tempat kecil bapak dulu yang
dicampur dengan kopi bubuk saset.
“Malam
minggu ini mau jalan-jalan ke mana, Bapak?” Ucap ibu dengan manis. Begitu
setiap kali malam minggu akan datang.
Dia
menaruh segelas kopi tanggung di tempat duduk panjang terbuat dari batang kayu.
Aku biasanya berpamitan kepada bapak dan ibu untuk pergi ke kantor.
Matahari
kian meninggi, teriknya jatuh di tubuh motor yang mengkilap. Cahaya itu
memantul. Ada bayang wajahku di sana, sesekali bias pada wajah bapak. Sekarang
tinggal menghangatkan mesin motor. Aku deg-degan. Aku tak tahu motor ini akan
hidup apa tidak. Sejak tujuh hari meninggalnya bapak. Motor ini tak diurus. Tak
pernah dihidupkan.
Aku
memutar kunci motor hingga hidup lampu tanda Normal. Aku trap motor itu. Sekali
saja, suara motor yang tersendat-sendat terdengar. Untungnya tak perlu menyeka
keringat seperti ketika dipakai bapak dan mogok di tengah jalan. Bapak biasanya
bergumam kepadaku ketika aku mendorongnya dari belakang. Biasanya Maisaroh yang
membantu mendorong motor ini ketika sedang mogok. Sambil membeli sate kambing
di pinggir alun atau di pinggir jalan dekat bengkel motor.
Aku
terenyuh mendengar kalimat bapak itu. Tapi kulihat dia tersenyum ketika
mengingat itu. Meski ibu sudah tak ada. Bukan. Maksudku, ibu pada saat itu
sedang menunggu bapak di alam lain.
“Semoga
mereka berkumpul di alam sana. Abadi.” Ucapku pelan di sela bunyi motor yang
tersendat-sendat. Sesekali ku tarik gas agar cepat panas mesinnya.
Sekarang
motor sudah hidup, bunyinya pun normal. Tak seperti tadi. Aku bersihkan
sisa-sasa debuh di kaca spion. Aku kecup lagi kepala motor. antara lampu motor
dan penunjuk kilometer. Lagi-lagi seperti yang bapak lakukan sebelum berangkat
menyusuri kota bersama ibu.
***
1991
Bapak
menaiki motor, sesudah mengecup motor. Setelah itu berangkat hendak pergi
menemui Ibu.
Halaman
rumah bapak masih sama, hanya lampu halamanyanya yang remang berwarna kuning. Bapak
muda berambut sebahu itu nampak maco dan tampan. Wajahnya tegas dengan hidung
yang mancung. Tubuhnya yang kekar itu entah kenapa tak malu mengendarai motor
bebek keluaraan 1986 yang tubuhnya lebih kecil darinya. Kenapa tidak
menggunakan motor besar seperti Suzuki RGR atau Honda NSR misalnya. Tapi bapak lebih memilih
menggunakan motor butut ini.
Di
remang jalanan, bapak tersenyum bahagia. Malam minggu yang ramai ini,
pemuda-pemudi sudah berkeliaran. Bahkan jalanan gang dari rumah bapak ramai
oleh pemuda di warung lontong dan nasi goreng. Beberapa becak dan angkutan umum
sedang diparkir di bahu jalan.
Bapak
membawa bunga yang dia simpan di dalam tas selempangnya, khas anak kuliahan, yang
dia bawa ke rumah ibu. Selain itu ia juga membawa secarik kertas istimewa untuknya.
Bapak sebenarnya tidak tahu jalan menuju
rumahnya. Hanya saja bapak nekat. Bermodal alamat yang diberikan ibu kepada bapak
melalui wartel kemarin malam.
“Datanglah
besok malam ke rumah. Catatat alamatnya! Jalan Sempurna Gang melati nomer 044.” Kata ibu. Setelah itu telpon
pun berakhir. Bapak Jarang sekali menelpon. Hanya melakukan surat-menyurat. Itu
pun jika dibalas oleh ibu.
Bapak
mengiyakan dan mencatat betul alamat itu. Tak boleh salah. Walaupun sebenarnya
tidak tahu, di manakah alamat itu berada. Kota ini lumayan luas. Kota besar dan
tumpuan ekonomi kota-kota sebelah. Tapi, bapak yakin. Rumah ibu tak akan jauh
dari rumah bapak. Karena tempat sekolah mrereka sama.
Motor
itu dengan yakin menerobos kota yang ramai. Bapak menuju kampusnya. Biasaya Setiap
kali pulang dari kampus, Ibu jalan kaki menuju jalan sebelah barat gedung Fakultas
Teknik Sipil. Dengan petunjuk itu, bapak masuk ke jalan itu. Setelah sekian
lama, bapak bertemu gang yang dimaksud ibu itu. Motornya yang butut terasa
asing di sana. Perumahan ini adalah deretan rumah orang-orang elit. Beberapa
orang sudah mempunyai mobil.
Tiba-tiba
sesampai di sana, motor bapak terdengar tersendat-sendat. Seperti sedang grogi.
Seperti apa yang dirasakanya sekarang. Tangannya dingin. Wajahnya pucat.
Padahal belum tentu rumah ibu di daerah itu. Di ujung perumahan. Sebelum jalan
simpang. Motor bapak berjalan-jalan semakin tersendat. Bapak menarik gasnya
lebih kencang. Tapi motor itu nampak tak mau menaikkan gasnya dan akhirnya mati.
Setelah itu bapak melihat perempuan yang
berdiri di depannya. Di depan sebuah rumah. Lampunya tak begitu terang.
Terdapat bebungaan yang menjalar di pagar beton rumahnya. Dia membaca sejenak
blok dan nomer rumah. Perempuan itu tak langsung menegur sapa. Membiarkan Bapak
berada dalam kondisi grogi teramat sangat.
“Ayo,
Masuk.” Tegur Maisaroh. Ya dia ibuku.
Bapak
diam.
“Ayo
masuk.”
Bapak
masih diam. Dia tak menyangka, yang berdiri adalah ibu. Ibu memakai baju putih
tulang sembari melempar senyum. Bapak masih tertegun. Dia melempat pandang
sejenak ke arah bulan di atas sana.
“Ayo!”
Ucap ibu sekali lagi, membangunkan lamunan bapak.
***
Aku
diam setelah melihat perempuan itu tersenyum kepadaku dan mengajakku masuk ke
dalam rumahnya. Motor Bapak benar-benar mogok. Aku mengumpat pada diriku
sendiri. Cerita Bapak sebenarnya cukup sampai di sini. Hari itu adalah pertama
kali bapak bertemu dan mengobrol langsung dengan Maisaroh dan orang tuanya.
Setelah itu dia pamitan dan membawa Maisaroh pergi jalan-jalan. Saat itu juga
aku merasa terenyuh ketika mengingat rangkaian cerita bapak. Maisaroh dengan
senang hati mendorong motor bapak sampai di bengkel. Baru lah pergi jalan-jalan
menyusuri kota.
Perempuan
cantik itu berdiri dan menunggu responku. Aku tidak tahu siapa perempuan itu.
Dia tiba-tiba mengajakku masuk. Aku mengikuti saja apa yang dia katakan. Aku
mengira dia kenal atau dengan Ibu. Entahlah. Tapi kata Bapak. Rumah mertuanya
sudah dijual lama dan pindah ke kampung halaman Ibu.
“Ayo
masuk.” Katanya. Sembari tersenyum manis kepadaku.
“Baiklah.”
Aku
masuk sembari menuntun motor Bapak yang mogok.
Rembang, 2020
Toni Kahar, lahir di Sumenep, santri yang aktif di komunitas Sastra ATAP dan SAKA
0 Komentar